Pengelolaan hutan berbasis komunitas merubah hutan yang semula rusak menjadi hijau kembali
Nama : Muhammad Zakki
Al Firdaus
NIM 247111040
Prodi : Ilmu Lingkungan 2B
Pengelolaan hutan berbasis komunitas merubah hutan
yang semula rusak menjadi hijau kembali
Kebakaran hutan dan lahan terjadi
disebabkan oleh 2 faktor
utama yaitu faktor
alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak
terkontrol. Faktor alami antara lain oleh pengaruh El Nino yang menyebabkan kemarau
berkepanjangan sehingga tanaman
menjadi kering. Tanaman
kering merupakan bahan bakar
potensial jika terkena percikan api yang berasal dari batubara yang muncul
dipermukaan ataupun dari pembakaran lainnya baik disengaja maupun tidak
disengaja. Dua tipe kebakaran tersebut merusak semak belukar dan tumbuhan bawah
hingga bahan organik yang berada di bawah lapisan serasah seperti humus, gambut,
akar pohon ataupun kayu yang lapuk. Apabila lambat ditangani kebakaran dapat
terjadi meluas sehingga menimbulkan kebakaran tajuk dimana kebakaran ini
merusak tajuk pohon. Akan tetapi tipe kebakaran terakhir ini dapat terjadi juga
karena adanya sembaran petir.
Faktor kegiatan
manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan antara
lain adanya kegiatan pembuatan api unggun di dalam
hutan, namun bara bekas api unggun tersebut tidak dipadamkan.
Adanya kegiatan pembukaan lahan dengan teknik
tebang-tebas-bakar yang tidak terkontrol, biasa dilakukan oleh perusahaan HTI
dan peladang berpindah ataupun menetap. Pembakaran secara disengaja untuk
mendapatkan lapangan penggembalaan atau tempat berburu, membuang puntung rokok
yang menyala secara sembarangan serta akibat
penggunaan peralatan/mesin yang menyebabkan timbulnya api. Secara umum
kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu kondisi bahan
bakar, cuaca, dan sosial budaya masyarakat. Kondisi bahan
bakar yang rawan terhadap
bahaya kebakaran adalah jumlahnya yang melimpah di lantai hutan, kadar airnya
relatif rendah (kering), serta ketersediaan bahan bakar yang berkesinambungan.
Faktor iklim berupa suhu, kelembaban, angin dan curah hujan turut menentukan
kerawanan kebakaran. Suhu yang tinggi akibat penyinaran matahari langsung menyebabkan bahan bakar mengering dan mudah terbakar, kelembaban
yang tinggi (pada hutan dengan vegetasi lebat) mengurangi peluang terjadinya kebakaran
hutan, angin juga turut mempengaruhi proses pengeringan bahan bakar serta
kecepatan menjalarnya api sedangkan curah hujan mempengaruhi besar kecilnya kadar air yang terkandung dalam bahan bakar (Rasyid, 2014). Kebakaran hutan membawa dampak yang
besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit
dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-
tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat
lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana
banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kebakaran
hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah menghanguskan seluas 11,7 juta
hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar
8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi
dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar,
1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (L., 2003).
Kebakaran hutan setiap tahunnya telah memberikan dampak negatif bagi keaneka
ragaman hayati.
Untuk mencegah kebakaran hutan di Indonesia, diperlukan upaya terpadu
melalui penguatan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran serta pentingnya konservasi, termasuk melalui kampanye, pendidikan
lingkungan, dan pelatihan teknik pembukaan lahan tanpa bakar.
Penegakan hukum
harus diperketat dengan
tindakan tegas terhadap
praktik pembakaran lahan dan
illegal logging, disertai peningkatan patroli dan penggunaan teknologi seperti
drone serta satelit
hotspot.
Pengelolaan risiko bahan bakar hutan perlu dilakukan dengan mengurangi bahan
organik kering, membangun sekat bakar, dan menjaga kelembaban lahan gambut.
Model pengelolaan hutan berbasis komunitas harus dikembangkan untuk melibatkan
masyarakat secara aktif dan meningkatkan kesejahteraan mereka agar tidak bergantung pada praktik destruktif. Sistem peringatan dini menghadapi
fenomena alam seperti El Nino perlu diperkuat, disertai peningkatan
kesiapsiagaan menghadapi musim kemarau. Selain itu, reformasi tata kelola hutan
dan lahan harus dilakukan dengan memperbaiki sistem perizinan, melakukan audit
ketat terhadap perusahaan, dan melaksanakan restorasi lahan kritis melalui
reboisasi. Dukungan inovasi juga sangat penting, termasuk pengembangan
teknologi monitoring real- time dan sistem pemadaman cepat berbasis drone atau
helikopter, sehingga pencegahan dan penanganan kebakaran dapat dilakukan secara
lebih efektif dan berkelanjutan (Rasyid, 2014).
Referensi
L., T. (2003). Kebakaran hutan
di Indonesia: penyebab,
biaya dan implikasi
kebijakan. Kebakaran
Hutan Di Indonesia: Penyebab, Biaya Dan Implikasi Kebijakan, 38(38). https://doi.org/10.17528/cifor/001200
Rasyid, F. (2014).
Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan Fachmi Rasyid A. Pendahuluan. Jurnal Lingkar Widyaiswara, 1(4),
47–59. www.juliwi.com
Komentar
Posting Komentar